Dari Manakah Kenyamanan Hidup Itu?
GPAI SDN 2 Craken
Ada
masa-masa saya kadang mengeluhkan keadaan, tidak jarang menyalahkan
hal-hal di luar diri sebagai sumber ketidaknyamanan hidup. Mulai dari
mediasosial yang isinya gitu-gitu aja. Mulai dari dapat pesan sms
tiba-tiba dari nomor yang gak dikenal menawarkan pinjaman, promo dari
operator maupun pemberitahuan untuk mendaftar ulang kartu seluler
padahal sudah melakukan registrasi. Juga pesan whatsapp, terutama group
whatsapp, yang bikin hidup menjadi tidak nyaman.
Lalu, saya mulai
mengubah pikiran. Selama rasa 'bahagia' atau 'nyaman' selalu
dipengaruhi oleh situasi luar, hidup saya tidak akan pernah merasa
bahagia, tidak akan merasa nyaman.
Tetapi
bukankah ke manapun kita pergi, akan selalu ada hal yang tidak membuat
kita nyaman? Sekarang mungkin saya masih bisa begadang, cangkrukan,
gaple, ngopi maupun hal lain yang membuat saya merasa mak plong. Tetapi
akan tiba suatu masa saya pasti sakit, entah perut mules, sirah mumet
maupun kelingking kaki kejedot pintu. Hidup jadi tidak nyaman. Sebagian
kesenangan dan kenyamanan hilang. Belum lagi masalah atap rumah bocor
saat hujan atau tembok rumah usang dimakan cuaca. Jadi pusing karena
keluar duit buat membenahi. Motor kadang rusak dan harus diperbaiki.
Atau istri cemberut karena terlambat setor uang belanja. Di musim panen,
serangga sawah pada datang ke rumah. Apalagi saya yang rumahnya memang
mewah, mepet sawah. Belum lagi kalau malam hari, tiba-tiba nyamuk-nyamuk
berdatangan. Sungguh mengganggu!
Kita lari dari satu
ketidaknyamanan untuk bertemu dengan ketidaknyamanan lainnya. Misal kita
hapus aplikasi whatsapp namun jadi repot karena banyak teman jadi susah
kontak. Kudu pake alternatif ini dan itu. Repot diri dan merepotkan
orang lain. Bukankah begitu Ferguso?? hehe...
Akhirnya saya
mulai belajar menerima, secara mental maupun spiritual. Hehe. Secara
mental saja ga cukup karena mental bukan unsur dasar manusia. Ada unsur
yang lebih halus yang juga harus dididik untuk ingat kembali hakikatnya,
sebagai entitas yang pada dasarnya menerima, sumeleh, nrima ing pandum.
Saya mulai dari hal sehari-hari. Sulit ternyata, terutama karena harus
jujur pada diri sendiri. Misal, kalau buka group whatsapp, sedikit saja
timbul rasa ga nyaman, sebal, jengkel, berarti ada masalah di diri saya.
Tentu saya bisa melarikan diri dengan left group, atau bahkan
uninstall. Tetapi sebenarnya saya tidak menyelesaikan masalah di batin
saya. Saya hanya lari. Mencari hal-hal yang menyenangkan dan menenangkan
saja tanpa melakukan muhasabah pada batin mengapa saya kok kesal cuma
gara-gara situasi.
Salah seorang yang kepadanya saya belajar,
pernah menyarankan bahwa kalau belajar hidup via hal-hal yang kita sukai
itu mudah. Walau tentu banyak manfaatnya namun itu belum cukup untuk
belajar nrima ing pandum, belajar semeleh, pasrah atau belajar islam
dalam maknanya yang paling mendasar. Kekurangan diri kita sering
ditampakkan oleh Allah ketika menjumpai hal yang tak kita senangi:
apapun yang bergejolak di hati, pikiran dan perbuatan saat kita bertemu
hal yang kita ga suka, disitulah Allah sebenarnya memperlihatkan
kekurangan dan kebobrokan hati kita, dan disitu juga sebenarnya Allah
selipkan obatnya. Asal kita mau belajar muhasabah dan berani jujur pada
diri sendiri. Secara teori, kalau kita tiap hari atau bahkan tiap
tarikan nafas melakukan ini, maka kita akan seperti "bertapa di tengah
keramaian" karena kita sibuk dengan diri sendiri, yang berarti juga
sibuk dengan Allah, sehingga pada level tertentu kita diperkenankan
melihat siapa sesungguhnya diri ini. Ini akan menjadi awal bagi masuknya
diri ke ruang penerimaan, ketundukan, sumeleh. Kalau sudah begini,
kebahagiaan dan kenyamanan tak lagi bergantung pada situasi luar.
Menjalankan
teori itu yang berat, bisa berhari-hari, bisa bertahun-tahun, bisa
seumur hidup, apalagi jika tidak punya rujukan atau mursyid yang benar.
Karenanya jumlah ulama yang arif atau wali Allah tidak pernah banyak.
Bagaimana nasib kita? Tak perlu khawatir. Allah itu Rahmat dan
pertolonganNya tanpa batas. Kadang kita sendirilah yang sok-sokan
membatasi rahmatNya dengan prasangka buruk kepada Allah, kepada manusia
dan kepada hal-hal yang tidak kita sukai.